Oleh: numisku | 5 September 2010

Kumis Jan Pieterszoon Coen

KOMPAS/PRIYOMBODO
Arifin Martoyo

Kompas, Minggu, 5 September 2010 – Di dompet Anda saat ini tentu tidak ada selembar uang bergambar Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda itu. Tetapi, uang itu masih beredar hingga hari ini—di tangan mereka yang berhobi mengoleksi uang kuno tentu.

Seri uang kertas Jan Pieterszoon Coen atau JP Coen keluaran tahun 1925-1931 itu menjadi bagian dari koleksi Arifin Martoyo (43). Dokter yang tinggal di Sunter, Jakarta Utara, itu mempunyai koleksi lengkap mulai pecahan terkecil 5 gulden sampai 1.000 gulden. Hanya pecahan 300 gulden yang belum dikoleksinya.

”Pecahan 300 itu sangat sulit didapatkan. Isunya, sih, di Indonesia yang punya cuma lima orang. Harganya bisa sampai puluhan juta rupiah,” kata Arifin.

Pada bagian muka uang tersebut terpampang sosok meneer Coen dengan kumis melintang. Lembar belakang uang itu bergambar gedung De Javasche Bank yang mengeluarkan uang tersebut.

Lembaran-lembaran gulden bergambar JP Coen itu seakan bisa bercerita tentang sejarah kolonial, semasa pemerintahan Coen yang memerintah dua periode, yaitu pada 1619-1623 dan 1627-1629. ”JP Coen ini orang yang dihormati di Belanda. Tetapi bagi kita (Indonesia) mungkin tidak, karena dia dianggap kejam,” kata Arifin yang mencoba menggali kisah di balik lembaran-lembaran koleksinya.

”Dia menjadi pahlawan di negerinya karena memberi pemasukan yang besar buat Belanda. Makanya (sosoknya) dibuat uang,” tutur Arifin melanjutkan.

Kolektor uang kuno lain, Edison Pangaribuan (36), menikmati aspek sejarah pada setiap uang koleksinya. Gambar pada uang, bagi Edison, juga seperti menyampaikan semacam pesan. Misalnya, uang seri wayang keluaran tahun 1934-1939.

”Dari gambar-gambar wayang itu kita bisa tahu bahwa Belanda saja menghargai kebudayaan kita. Selain itu, kita juga mengenal budaya Indonesia,” kata Edison.


Memburu uang

Menjadi kolektor uang harus tekun dan sabar. Pasalnya, setiap uang memiliki tingkat kesulitan yang berbeda. Ketika masih menjadi mahasiswa kedokteran di Yogyakarta, Arifin sering masuk-keluar pasar loak untuk mencari uang kuno. Ia juga masuk ke toko buku bekas yang menjual buku-buku kuno. ”Dulu orang Belanda suka menyelipkan uang di sela-sela buku,” kata Arifin.

Ia pernah beberapa kali mendapatkan uang dari buku loak. Uang itu terkadang disimpan oleh penjual buku loak. Sekarang penjual buku loak di Malioboro, Yogyakarta, itu sering membantu Arifin berburu uang.

Kolektor juga mencari koleksi baru dari sesama kolektor. ”Siapa tahu ada barang yang akan dijual atau barter,” kata Edison yang juga sering berburu ke penjual uang kuno di toko seperti di Pasar Baru, Jakarta, atau juga di Depok Town Square.

Seri uang tertentu saat ini memang ada yang sangat mudah didapatkan. Misalnya seri pekerja tangan pecahan Rp 5 bergambar pembatik. Juga pecahan Rp 10 bergambar pemahat patung keluaran tahun 1963. Harga seri tersebut antara Rp 2.000 untuk kondisi tidak mulus sampai Rp 15.000 untuk yang masih mulus.

”Seri pekerja tangan ini masih bisa didapat gepokan. Biasanya orang cari seri itu untuk mahar,” kata Edison.

Adapun seri binatang keluaran 1957 termasuk yang relatif tinggi, yaitu sampai Rp 35 juta. Dalam catatan Arifin, seperti ditulis dalam situs http://www.uang-kuno.com, pecahan Rp 10 dari seri tersebut sangat sulit didapatkan karena pernah beredar hanya beberapa hari sebelum kemudian ditarik lagi.

”Uang seri binatang khas Indonesia ini paling digemari kolektor internasional,” kata Arifin.


Uang jajan, investasi

Arifin mengoleksi uang kertas sejak ia masih SD pada tahun 1970-an. Ia mengoleksi uang awalnya hanya iseng belaka. Ia mengumpulkan sebagian uang jajan pemberian orangtua. Pada era 1970-an itu uang yang beredar adalah uang seri Sudirman.

Karena terlalu lama menyimpan dan tidak dibelanjakan, uang simpanan Arifin belakangan menjadi kedaluwarsa. Ketika pemerintah mengeluarkan uang terbaru, uang simpanan Arifin tidak laku lagi. ”Dari situ saya mulai berpikir, ternyata menarik juga mengoleksi uang,” tutur Arifin. Sejak saat itu Arifin mulai getol menyisihkan uang keluaran terbaru bila pemerintah menerbitkan uang baru.

Sedangkan Edison mulai tertarik mengoleksi uang sejak SMA. Ia semula tertarik pada desain, gambar, dan sejarah di balik gambar-gambar tersebut. Belakangan dari sekadar menyukai desain uang, Edison mulai tertarik akan nilai investasi uang koleksinya. Ia, misalnya, mempunyai uang seri wayang keluaran tahun 1939 pecahan Toonder Hondred Gulden alias 100 gulden. Ia membeli uang itu pada tahun 1998 dengan harga Rp 1 juta. Kini dalam lelang di Jakarta pada awal Agustus lalu, seri wayang pecahan tersebut dihargai Rp 18 juta.

”Namun, bukan tujuan saya untuk menjual uang. Saya pehobi dan kolektor. Saya menikmati (uang kuno) dari sisi hobi, kesenangan,” kata Edison. (Lusiana Indriasari dan Frans Sartono)


MITOS
Wayang dan Jatuhnya Penguasa


Seri wayang, tahun 1934-1939.

Bagi kolektor, uang juga merupakan saksi sejarah yang memberi gambaran situasi sosial, budaya, dan lingkungan tempat uang itu diterbitkan.

Tahun 1964, misalnya, terbit uang seri sukarelawan. Pada pecahan 5 sen dan 10 sen tertera gambar sukarelawati. Sedangkan pecahan 25 sen dan 50 sen bergambar sukarelawan. Situasi sosial politik Tanah Air saat itu tengah berkobar-kobar. Indonesia tengah berkonfrontasi dengan Malaysia dan rakyat siap menjadi sukarelawan untuk dikirim ke perbatasan.

Dan yang juga menarik adalah penanda tangan pada seri tersebut, yaitu Yusuf Muda Dalam yang saat itu menjabat sebagai Menteri Urusan Bank Sentral yang namanya ramai disebut dalam sejarah.

Arifin sangat menikmati cerita sejarah di balik latar belakang penerbitan uang yang dikoleksinya. Uang seri gambar wayang, misalnya, melalui periode sejarah yang sulit. Uang gambar wayang yang pertama kali diterbitkan Belanda pada 1930-an dihancurkan militer Jepang pada masa pendudukan tahun 1942.

Arifin memiliki koleksi yang cukup lengkap untuk uang bergambar wayang ini. Ketika Jepang berkuasa, pemerintah penjajahan juga menerbitkan uang bergambar wayang. Setelah menerbitkan uang bergambar wayang itu, Jepang kalah dan meninggalkan Indonesia.

Presiden Soekarno yang berkuasa pada masa awal kemerdekaan juga menerbitkan uang bergambar penari Bali yang kemudian diasosiasikan dengan wayang. Uang itu diterbitkan pada 1960. Setelah menerbitkan seri wayang itu Soekarno pun jatuh.

”Jadi ada mitos, penguasa yang menerbitkan uang wayang akan turun takhta he-he…,” kata Arifin.

Sekali lagi, itu hanya mitos. (XAR/IND)


Tanggapan

  1. I have a collection of paper money for sale – either by the piece or as a lot.

    Please contact indostocks(at)gmail.com

  2. Saya ada koleksi duit one million dollars america, bermenat call saya di no-0177429304


Tinggalkan komentar

Kategori